Di balik keberhasilan sebuah kota dalam mengelola sampah, ada para pejuang lingkungan yang sering luput dari sorotan: penggerak Bank Sampah. Mereka bukan ASN, bukan karyawan kontrak, bahkan bukan relawan dibayar. Mereka adalah warga biasa yang rela meluangkan waktu, tenaga, dan bahkan uang pribadi — semua demi bumi yang lebih bersih.
Di tempat kami, Bank Sampah berjalan tanpa gaji. Tidak ada honor bulanan, tidak ada insentif dari lembaga, bahkan untuk membeli timbangan digital saja, kami harus patungan dari dana pribadi. Saat butuh spanduk sosialisasi — kami desain, cetak, dan pasang sendiri. Ketika ingin membuat kaos identitas, lagi-lagi kami urunan.
Sementara itu, kita semua tahu betapa pentingnya peran Bank Sampah:
-
Mengurangi sampah ke TPA
-
Mendorong ekonomi sirkular
-
Mendidik masyarakat tentang pemilahan sampah
-
Menjadi mitra strategis dalam upaya pengurangan sampah plastik
Namun sayangnya, peran penting ini masih sering dianggap sebelah mata. Minim dukungan, minim anggaran, dan seringkali dibiarkan berjalan sendiri.
Kami tidak menuntut mewah. Tapi dukungan sekecil apapun — fasilitas dasar, pelatihan, atau sekadar pengakuan dari pemerintah daerah — akan sangat berarti. Apalagi jika pemerintah daerah, CSR, dan tokoh masyarakat bisa bersinergi, Bank Sampah bisa jauh lebih berdampak dan mandiri.
Semoga tulisan ini bisa mengetuk hati, membuka mata, dan mengajak lebih banyak pihak untuk turut peduli pada gerakan Bank Sampah. Karena menjaga lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya mereka yang mau bekerja tanpa dibayar.
Komentar
Posting Komentar